Kamis, 23 Januari 2014

Urgensi Syahadatain



URGENSI SYAHADATAIN

Syahadatain adalah rukun Islam yang pertama yaitu dua kalimat syahadat yang terdiri dari Syahadat uluhiyah dan syahadat risalah. Ia adalah fondasi bagi tegaknya rukun-rukun yang lain. Artinya, semakin kokoh pemahaman dan penghayatan  syahadatain, akan semakin kokoh pula komitmen terhadap rukun-rukun Islam secara khusus dan terhadap seluruh ajaran Islam secara umum. Dengan demikian, sangatlah penting  mempelajari kalimat persaksian ini sehingga tumbuh kepahaman, keyakinan dan kemantapan iman.
Syahadatain itu penting diantaranya karena beberapa alasan berikut ini :

1.     Madkhalun Ilal Islam (Pintu gerbang masuk ke dalam Islam)

Seseorang diakui sebagai seorang muslim diantaranya jika memenuhi tiga syarat: (1) Mengakui rububiyyah Allah
(2) Mengakui uluhiyah Allah
(3) Mengakui risalah Nabi Muhammad saw

Mengakui rububiyyah Allah:

Sesungguhnya manusia telah diciptakan oleh Allah ta’ala dalam keadaan fitrah, mengakui rububiyyah Allah ta’ala:

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”. (QS. Al-A’raf, 7: 172)

Seluruh manusia pasti mengakui Allah sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemilik alam semesta. Tidak ada yang mengingkari Dia sebagai Rabb kecuali para penganut faham materialis-atheis. Bahkan kaum musyrikin sekalipun mengakui rububiyyah Allah ini, seperti telah diungkapkan di dalam Al-Qur’an:

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)” (QS. Al-Ankabut, 29: 61)
“Dan jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?’ Pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah,’ Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti”(QS. Al-Ankabut, 29: 63)

“Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, “Milik Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan Yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka mengapa kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapa yang ditangan-Nya berada kekuasaan segala sesuatu. Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari azabnya), jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian) maka bagimana sampai kamu tertipu?” (QS. Al-Mu’minun, 23: 84-89)


Mengakui uluhiyyah Allah dan Risalah :

Akan tetapi pengakuan akan rububiyyah Allah ini tidak otomatis menghantarkan mereka menjadi seorang muslim, kecuali menyempurnakannya dengan mengakui uluhiyyah Allah ta’ala dan mengakui Risalah Muhammad saw.

Dengan kata lain—untuk menjadi seorang muslim—tidak cukup hanya dengan mengatakan: “Saya mengakui Allah adalah Pencipta”, “Saya mengimani Allah adalah Pemelihara”, “saya meyakini Allah adalah Pemilik langit dan bumi” tanpa  disertai pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang wajib  diiibadahi dan Muhammad adalah benar-benar utusan Allah yang membawa risalah dari-Nya,  Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah.

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita pentingnya syahadatain: ia adalah kalimat pengakuan akan uluhiyyah Allah ta’ala dan kebenaran risalah Muhammad saw.  Dengan kalimat inilah kita diakui sebagai seorang muslim, madkhalun ilal Islam

2.     Khulaashatu ta’aaliimil Islam (Intisari Ajaran Islam)

Intisari ajaran Islam itu ada dua:

Pertama, beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya:“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…” (QS. 98: 5);  Penghambaan kepada Allah adalah ajaran Islam sepanjang zaman. Tidak ada seorang rasul pun kecuali membawa ajaran tauhid ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku”. (QS. 21: 25).

Kedua, beribadah berlandaskan manhaj-Nya, yakni dengan cara mengikuti contoh teladan Nabi Muhammad saw (ittiba): “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” (QS. 33: 21).
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. (QS. 33: 36).
“Katakanlah Muhammad: ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu  dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyanyang”. (QS. 3: 31).

Dua intisari ajaran Islam ini terkandung dalam syahadatain, Laa Ilaaha illa-llah Muhammadur-rasulullah.

Jadi, segala bentuk peribadatan—yang dilakukan oleh seorang muslim secara fardhiyyan (individu) maupun secara  jama’iyyan (kolektif)—sesungguhnya bermuara kepada syahadatain ini; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, penegakan hukum, tazkiyatu nafs, dakwah, akhlakul karimah, dan lain sebagainya, adalah implementasi syahadatain. Semuanya itu adalah konsekwensi amaliyah dari persaksian manusia di hadapan Allah ta’ala. Karena itulah syahadatain disebut sebagai intisari ajaran Islam.


3.     Asasul Inqilab (Dasar-dasar Perubahan Total)

Syahadatain penting karena ia adalah asas perubahan total: individu dan masyarakat. Mari kita buka lembaran sejarah para sahabat seperti Umar bin Khattab, Mush’ab bin Umair, Salman Al-Farisi, Saad bin Abi Waqash, dan yang lainnya, apakah yang membuat performa, akal, hati, aktivitas, pemikiran dan aqidah mereka berubah total?

Berikutnya renungkanlah kondisi bangsa Arab dahulu kala sebelum datangnya cahaya Islam; kebanyakan mereka terlilit kebodohan, kehinaan, kefakiran dan perpecahan. Mereka bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh 2 negara super power waktu itu (Romawi dan Persia). Tapi tiba-tiba berubah total menjadi bangsa yang memiliki pengetahuan, izzah, kekayaan dan rasa persaudaraan yang kokoh, sehingga mampu menggetarkan para tirani durjana.

Apakah yang membuat semua itu terjadi? Tiada lain jawabannya, adalah karena cahaya Islam yang menggelora dalam dada senantiasa hidup dibakar kalimat agung yang kokoh, Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah!
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. 13: 11)

4.     Haqiqotu da’wati Rasuli (Hakikat Dakwah Rasul)

Syahadatain penting karena ia adalah hakikat dakwah Rasulullah saw:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia…” (QS. 7: 158)

Bahkan ia pun adalah hakikat dakwah para rasul terdahulu:
“Dan sungguh, kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut’…” (QS. 16: 36)
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku”. (QS. 21: 25).

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk memahami, mengamalkan, dan mendakwahkannya kepada segenap umat manusia di muka bumi ini.
“Dan kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. 34: 28)

5.     Fadhaailun ‘adhziimah (Keutamaan yang Besar)

Syahadatain itu penting karena mengandung keutamaan yang besar. Ali Juraisyah menyatakan bahwa dengan mengucapkan kalimat syahadat seseorang akan mendapatkan dua keuntungan, yaitu keuntungan duniawi dan keuntungan ukhrawi.

Keuntungan di dunia adalah ia diakui sebagai seorang muslim, darah dan hartanya terlindungi. Rasulullah bersabda,


“Aku diperintahkan untuk memerangi orang, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan mereka beriman kepadaku dengan apa yang aku bawa. Siapa yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’, maka dirinya dan hartanya terlindung dariku, kecuali dengan haknya, dan perhitungan selanjutnya terserah kepada Allah” .

Sepatah kalimat saja sudah cukup untuk melindungi darah dan harta seseorang, dan sekaligus memasukkannya ke dalam diinul Islam. Kita tidak diperintahkan untuk membedah dada seseorang untuk mengetahui isi hatinya,
“Aku tidak diperintahkan untuk melubangi kalbu orang dan membelah dada mereka.” 

Oleh karena itu Nabi pernah menegur Usamah bin Zaid cukup keras karena telah membunuh seseorang dalam peperangan, padahal orang tersebut telah mengucapkan laa ilaaha illallah. Nabi tidak menerima alasan Usamah yang menyatakan bahwa orang tersebut mengucapkan laa ilaaha illallah hanya karena ingin menyelamatkan diri, bukan karena keimanan.

Adapun keuntungan akhiratnya—lanjut Ali Juraisyah—ialah bahwa seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat akan dikeluarkan dari neraka, asalkan ucapannya itu didukung oleh keimanan meskipun hanya sebesar debu! Artinya dengan syahadat ia akan terselamatkan dari mendekam selama-lamanya di dalam neraka. Hal ini ditegaskan oleh Nabi saw,
“Akan keluar dari api neraka siapa yang pernah mengucapkan laa ilaaha illallaah, sedang di dalam kalbunya terdapat kebaikan meskipun hanya seberat syairah (jawawut) kemudian akan keluar dari api neraka siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah, sedang dalam kalbunya terdapat kebaikan meskipun hanya seberat burrah (gandum), kemudian akan keluar dari api neraka siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, sedang dalam kalbunya terdapat kebaikan meskipun hanya seberat zarrah (debu).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar