Rabu, 22 Januari 2014

"Pelangi Sehabis Hujan"


Menuliskan Cerpen Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Hai sobat Tulics,, senang rasanya bisa jumpa lagi. Kali ini saya akan membagikan hasil karya cerpen saya. Tujuan utama dibuatnya cerpen ini sih untuk pengambilan nilai bahasa indonesia. Judulnya "Pelangi Sehabis Hujan". Dan cerpen ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi saya lho..!

Hmm,, mungkin cerpen ini masih jauh dari kata sempurna. Jadi kalo nanti sobat Tulics menemukan banyak kekurangan, mohon dimaklumi aja okeh..!?

Selamat membaca..!!
Jangan lupa komentarnya ya..:D





Akan selalu ada pelangi setelah hujan,,

jadi apa yang perlu dikhawatirkan ??




“ Pelangi Setelah Hujan ”

Indikator :
1.  Pembuka : - Keluargaku mengimpikan memiliki rumah sendiri di Jakarta.
2.  Masalah   : - Keluargaku berencana membeli 2 petak rumah milik Ibu Reza.
                       - Keluargaku membuat perjanjian jual-beli bersama Ibu Reza.
3.  Konflik    : - Terjadi pembatalan perjanjian jual-beli rumah secara sepihak oleh Ibu Reza.
4.  Klimaks   : - Terdapat segelintir orang yang tidak menyukai rencana keluargaku untuk membeli rumah milik Ibu Reza.
                       - Banyak orang sekitar yang terpengaruh, sehingga seakan-akan menjauhi keluargaku.
                       - Keluargaku banyak difitnah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
5.  Peredaan : - Pak Dahlan (selaku ketua Rt.04) menyatakan bahwa keluargaku tidaklah bersalah.
                       - Diadakan pertemuan untuk melakukan netralisasi.
                       - Keluargaku memutuskan untuk pindah rumah.
6.  Penutup   : - Pak Handoko (selaku ketua Rt.05) mendadak meninggal karena serangan jantung.




  “ Pelangi Setelah Hujan ”

Hampir semua orang setuju dengan pepatah “rumahku adalah istanaku”. Termasuk aku sendiri. Yap, menurutku rumah adalah sebuah kata yang dapat digambarkan sebagai suatu tempat yang nyaman dimana si empunya tinggal.
Bagiku rumah memiliki banyak sekali fungsi, yaitu selain sebagai pelindung kita dari teriknya sinar matahari, derasnya hujan dan dinginnya angin malam. Lebih dari itu, fungsi rumah yang paling penting dan mendasar adalah untuk menciptakan keamanan, kehangatan dan ketenangan hati bagi yang menempatinya.
Pada dasarnya, rumah adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk saling berbagi kebahagiaan, entah itu rumah mewah maupun sederhana. Seperti halnya rumahku ini, walaupun masih menyewa dan terbilang sederhana, rumahku sangatlah nyaman.
Sebetulnya kami sudah memiliki rumah sendiri, namun tempatnya bukan di Jakarta, melainkan di kampung ibuku yaitu di Purworejo (Jawa Tengah). Dan karena kami tinggal di Jakarta, maka rumah tersebut disewakan kepada sebuah koperasi simpan-pinjam.
***
Pada suatu hari saat aku sedang enak-enakan nonton tv, Ibuku yang sejak tadi di dapur datang menghampiriku untuk ikut bersantai. Lalu seperti biasa, karena kami sesama wanita dan aku adalah anak perempuan tertua di keluarga ini, maka aku dijadikan sebagai teman curhat oleh ibuku sendiri. Kami berdua membicarakan banyak hal. Mulai dari membicarakan hal-hal kecil sampai besar dan yang sifatnya pribadi hingga umum. Dan pembicaraan kali ini dimulai dari mengomentari isi berita yang baru saja tanyang di tv.
“Begitu tuh, pola pikir orang Indonesia masih pendek. Belum bisa berpikir kritis. Lha wong salah kok dibela?! Mau jadi apa Negara ini??” komentar ibuku saat menyimak berita di tv tentang maraknya para mahasiswa berdemo menuntut pemerintah supaya tidak menggusur bangunan yang berada di bantaran kali.
“Lho Bu, bukannya itu bagian dari sikap kritis? Mereka berdemo kan untuk mengkritik sistem kerja pemerintah yang suka sewenang-wenang sama rakyat kecil.” sahutku menanggapi komentar Ibu.
“Ahh kamu ini! nggak bisa bedain mana orang yang kritis dengan mana orang yang ngeyel.”
“Emang apa bedanya Bu? bukannya orang ngeyel berawalnya dari orang kritis?” tanyaku bingung.
“Beda dong,, kalo orang kritis itu bisa melihat sesuatu dari berbagai macam sudut pandang atau memberikan sudut pandang yang baru supaya bisa dijadikan sebuah pertimbangan. Dan harus diingat! orang kritis sifatnya nggak  memaksakan, tapi memberikan pandangan baru tentang cara pandang yang lain. Sedangkan orang ngeyel itu biasanya memaksakan keinginan pribadinya, atau memaksakan cara pandangnya pribadi. Orang ngeyel bisa aja berlagak sok akademis, sok tahu peraturan, padahal apa yang disampaikan cuman hal-hal yang mendukung keinginan pribadinya.”
“Oh gitu ya. Hmm.. berarti maksud Ibu mereka ini termasuk orang-orang yang ngeyel?”
“Ya iya dong, mereka kan cuman mentingin diri mereka masing-masing. Cuma mengatas namakan rakyat kecil terus bisa bebas ngelanggar hukum gitu? Salah sendiri. Emang siapa suruh bangun rumah di pinggir kali coba? Semuanya kan udah ada peraturannya, termasuk membangun rumah di pinggiran kali.” jelas Ibu.
“Kalo dipikir-pikir emang mereka duluan yang salah, tapi cara pemerintah menggusur juga kayaknya nggak manusiawi.”
“Itu sih bukan sistemnya yang salah, cuman caranya aja kok kurang tepat. Ya mungkin karena aparaturnya udah geregetan ngadepin orang-orang ngeyel. Udah dikasih waktu buat beres-beres barang terus cari rumah atau rusun baru, eeh.. malah keterusan tetep tinggal. Yaudah, diambrukin aja deh semua bangunannya.”
“Ohh...jadi begitu.” sahutku paham.
“Iya. Dan kamu juga harus tahu ya kalo nggak semua mahasiswa itu berdemo karena murni atas aspirasinya sendiri, jaman sekarang udah banyak juga mahasiswa yang dibayar untuk berdemo.”
“Iya, kalo itu sih aku udah tahu.”
“Nah udah tahu kan sekarang? makanya kamu sekolah yang bener, supaya dapat ilmu yang banyak dan jadilah orang yang kritis, bukan orang yang ngeyel.” saran Ibuku.
“Iya Bu.”
Aku terdiam sambil berusaha mencerna satu per satu kata dari semua kalimat yang telah dituturkan Ibuku. Yeah. Dan sekarang aku mengerti. Aku paham benar dengan semua yang baru saja dibicarakan. Dan tentu saja aku dapat mengambil banyak pelajaran dari perdebatan singkat yang baru saja terjadi. Terimakasih Ibu. Walaupun terkadang kelewat bawel, engkau selalu memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam hidupku sehingga dapat membawaku menjadi orang yang dewasa nantinya. Namun tidak lama kemudian Ibuku kembali berbicara.
“Nduk, kamu doa’in rencana Ibu supaya sukses ya.”
“Hah, rencana? rencana apa Bu??”
“Iya, Ibu udah berencana ngebeli rumah ini dari Ibu Reza. Supaya tenang tinggal di Jakarta punya rumah sendiri.”
“Lho, bukannya kata Ibu rumah ini terlalu kecil?”
“Niat Ibu tuh beli 2 petak. Rumah yang kita tempatin ini sama yang rumah yang sebelah kanan kita ini. Niatnya sih kalo udah kebeli nanti, mau direnovasi jadi satu, supaya jadi lebih besar.”
“Kan rumah sebelah udah ditempatin Kang Ujang sama Teteh Ani.”
“Iya Ibu tahu kok. Cuman kan Ibu baru mau ngebeli rumahnya. Untuk renovasinya sih belakangan. Jadi misalnya rumah ini udah kebeli, bukan berarti kita langsung usir Kang Ujang. Kalo Kang Ujang mau, biar dia tetep ngontrak disini tapi bayarnya sama kita. Lagian kan Ibu butuh waktu lagi untuk ngumpulin uang buat renovasinya.”
“Hmm, gitu ya. Tapi emang Ibu udah siap uang untuk beli rumahnya?”
“Insyaallah udah Ibu siapin uangnya. Dan lusa Ibu udah buat janji ketemuan sama Ibu Reza di rumah Bu Haji untuk persetujuan dan penentuan harga. Kamu tinggal doa’in aja supaya semuanya berjalan lancar.” jelas Ibu.
“Oke. Ibu tenang aja, kalo begitu sih pasti aku doa’in” jawabku semangat sambil tersenyum.
Kemudian tidak terasa waktu cepat berlalu. Hari ini kami mengakhiri obrolan dengan rasa gembira. Terutama tentang niat Ibu untuk membeli rumah. Aku senang sekali rasanya. Sudah tidak terbayangkan dalam benakku jika nantinya keluargaku memiliki rumah sendiri di Jakarta.
***
Beberapa hari kemudian setelah terjadinya pertemuan tersebut, Ibu menceritakan perkembangan yang terjadi. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 6 orang, yaitu Ibu dan Bapak Reza sebagai penjual, Ibu dan Bapakku sebagai pembeli, serta Ibu dan Bapak Haji sebagai saksi atau penengah.
Ternyata Ibu dan Bapak Reza sudah menyetujui dan menandatangani surat perjanjian diatas Al-Quran bahwa rumahnya yang 2 petak ini dijual kepada Keluargaku. Dan untuk masalah harga juga sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Ibuku juga sudah memberikan uang DP-nya yaitu setengah dari harga keseluruhan dan sisanya dibayarkan secara mencicil atas permintaan Ibu Reza sendiri dengan alasan supaya uangnya tidak cepat habis.
Aku senang mendengar perkembangan tersebut. Tetapi dibalik itu semua, tiba-tiba aku merasakan ada sedikit keraguan yang merasuk ke dalam pikiranku. Ya Allah, apakah semua ini akan berhasil?? Apakah semua ini akan berjalan lancar?? dan sebagainya. Semua pikiran itu tentu saja mengganggu perasaanku.
Aku tahu betul rumah ini adalah salah satu dari sekian banyak warisan yang didapatkan oleh Bapak Reza dari orang tuanya selaku tokoh masyarakat Betawi.  Namun masalah jual-beli tanah biasanya diambil alih oleh Ibu Reza. Dan aku juga tahu persis bagaimana sifat buruk yang dimiliki oleh Ibu Reza.
Ya. Walaupun Ibu Reza dan Ibuku sama-sama dari Purworejo dan hanya berbeda kampung halaman, sifat Ibu Reza jauh berbeda dengan sifat Ibuku. Mungkin saja karena pengaruh lingkungan. Ibu Reza bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga sehingga banyak waktu luang yang dapat ia pergunakan untuk ngerumpi sana-sini dan mengikuti kegiatan arisan juga pengajian yang ujung-ujungnya selalu membicarakan orang lain. Sedangkan Ibuku selain menjadi Ibu Rumah Tangga, ia juga bekerja sebagai wanita karir sehingga Ibuku hanya fokus mengurus keluarga dan pekerjaan.
Tapi aku membuang jauh semua pikiran-pikiran aneh tersebut. Aku hanya dapat berdoa dan pasrah kepada Sang Maha Pencipta, karena hanya kepadaNyalah aku berharap. Dan aku tahu bahwa manusia hanya dapat berencana, sedangkan yang memutuskan semua perkara di dunia tetaplah Allah SWT.
***
Beberapa minggu dapat kulalui seperti biasa. Namun belum 2 bulan, tiba-tiba muncul permasalahan sedikit demi sedikit. Ya, sikap Ibu dan Bapakku berubah menjadi tidak seperti biasanya. Seperti ada hal-hal yang mereka tutupi dari aku, kakakku dan adik-adikku.
Dan benar saja. Persis seperti dugaanku sebelumnya. Ibu dan Bapak sedang menanggung masalah besar. Ternyata masalah itu berasal dari perjanjian jual-beli rumah yang tiba-tiba dibatalkan secara sepihak oleh si penjual (Ibu Reza).
Bagaikan tersambar petir. Setelah mendengar kabar buruk tersebut, ingin sekali rasanya aku menangis. Aku terdiam seribu bahasa. Hatiku hancur. Apalagi melihat kedua orang tuaku yang seakan-akan tidak dapat menerima kenyataan ini.
Apa yang telah mereka lakukan terhadap keluargaku? Apa maksud mereka membatalkan semua ini? Bukankah semuanya sudah terikat dengan perjanjian? Lantas apa tujuan mereka sebenarnya?
Pikiranku sangat tidak tenang. Aku tidak terima dengan semua ini. Mereka telah membohongi dan menyakiti keluargaku. Bahkan mereka juga melanggar perjanjian yang telah dibuat di atas Al-Quran. Namun aku menutupi rasa sakit hatiku dengan tidak memperlihatkan ekspresi marahku. Aku takut jika nantinya orang tuaku melihatku kecewa, justru akan menambah beban berat yang telah ditanggung kedua orang tuaku. Bahkan demi menghibur kedua orang tuaku, aku yang dari tadi terdiam berusaha mengomentari permasalahan tersebut dengan santai.
“Oh yaudah nggak apa-apa kok Pak,Bu. Kalo gitu jadinya mending cari rumah baru yang lainnya aja.”
“Iya Nduk, tapi Bapak sama Ibu masih pikir-pikir dulu. Kalo tinggal di sini kan strategis dan harganya masih bisa dijangkau, sedangkan di tempat lainnya belum tentu kayak gini.” jawab Ibu.
“Hmm.. yaudah terserah Ibu sama Bapak deh. Mau beli rumah dimana aja aku sih terima.” jawabku sambil tersenyum, berharap supaya orang tuaku sedikit terhibur.
“ Iya Nduk. Udah, pokoknya nggak usah kamu pikirin. Ini urusan Ibu sama Bapak.” kembali Ibuku menjawab, dan kali ini sambil tersenyum.
***
Beberapa hari pun berlalu. Aku berharap supaya masalah yang mengganggu keluargaku segera lenyap. Namun nyatanya justru bertambah berat. Ya. Bagaimana tidak tambah berat masalahnya kalau ternyata banyak pihak yang tidak terlibat tiba-tiba ikut campur dalam masalah ini. Huh dasar! tahu apa mereka tentang masalah ini? Kalaupun mereka tahu yang sebenarnya, jelas mereka tidak berhak untuk ikut campur.
Keluargaku menjadi bahan perbincangan disana-sini. Dari mulai hal-hal kecil sampai hal-hal besar yang sifatnya buruk dan bahkan tidak benar alias tidak sesuai dengan kenyataannya yang terjadi. Dalam pepatah dapat diibaratkan seperti “Bau busuk tiada berbangkai”, yang artinya dituduh melakukan kesalahan namun tidak ada bukti kuat yang mendukungnya. Dan jelas saja semua hal tersebut telah mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup keluargaku.
Semua masalah berkembang menjadi semakin besar dan rumit. Masalah tersebut kini telah mempengaruhi banyak bidang dalam kehidupan keluargaku, terutama dalam bidang sosial. Sikap dan perilaku orang-orang lingkungan sekitar berubah drastis. Mereka semua seakan-akan menganggap keluargaku sebagai wabah penyakit yang harus dijauhi.
Dan kasihannya, yang paling terlihat tertekan adalah adik-adikku. Saat mereka ingin bermain dengan teman-teman sebayanya, mereka justru menjadi bahan ejekkan.
Pernah suatu hari diam-diam aku memperhatikan adikku yang paling kecil (Dinda namanya) dan baru berumur 3 tahun dari balik jendela rybeen. Ia sedang bermain di rumah temannya bersama dengan teman-teman yang lainnya. Dari jauh, Dindalah yang paling terlihat aktif dan ceria. Dan sepertinya saat itu ia sedang bercerita kepada teman-temannya. Semuanya terlihat dari wajahnya yang penuh dengan ekspresi saat bercerita.
Dengan suara khasnya yang cempreng dan lidahnya yang masih kaku sehingga belum bisa mengucapkan huruf  “R” dengan jelas alias cadel, Dinda bercerita dengan penuh semangat. Dan terlihat sekali disana teman-teman Dinda sangat terhibur atas cerita yang baru saja disampaikan Dinda.
Dengan ringannya, seakan-akan tanpa beban mereka tertawa bersama-sama. Aku yang sejak tadi memperhatikan, hanya bisa senyum-senyum sendiri mendengar tawa mereka yang renyah dan membahana hingga terdengar sampai sini. Samar-samar aku masih dapat mendengar banyak sekali komentar dari teman-temannya atas cerita Dinda barusan.
“A..haha, Dinda lucu deh!!!” komentar temannya yang bernama Ado.
“Hahah.. iya yah! Jangan-jangan Dinda temennya Sule.” lanjut Dika.
Masih banyak komentar lainnya yang menunjukkan ketertarikan atas cerita Dinda. Semua komentar-komentar tersebut justru membuat Dinda semakin semangat untuk bercerita. Beragam topik telah dibahas. Dari mulai film, mainan, hingga kejadian-kejadian yang berkesan, semuanya tidak luput dari perbincangan mereka.
Dan aku yakin sekali, topik yang sedang diceritakan Dinda kali ini adalah topik yang paling lucu. Ya, Dinda pasti sedang menceritakan pengalaman pertamanya saat bertemu dengan seorang “banci kaleng” yang tadi pagi sudah terlebih dahulu diceritakan kepadaku. Awalnya Dinda mengatakan bahwa ia melihat seorang pria yang dapat berubah wujud menjadi seorang wanita dalam sekejap. Ia mengira bahwa orang itu adalah pesulap. Hahaha, aku tertawa mendengarnya. Namun kemudian aku memberikan penjelasan kepadanya bahwa seorang pria yang dapat berubah menjadi wanita disebut banci kaleng, bukanlah pesulap. Heheh,, ada-ada  saja adikku yang satu itu.
Dari sini, masih terdengar suara canda tawa mereka. Namun tidak lama kemudian, tawa mereka mendadak berhenti. Ada suara dari dalam rumah yang meneriaki mereka.
“Heh!! jangan berisik kalo main disini!” teriak suara dari dalam.
Ternyata yang meneriaki mereka adalah orang tua dari salah seorang temannya. Seketika itu ia langsung keluar rumah. Kemudian tidak diduga-duga, adikku langsung dimaki-maki tanpa sebab olehnya.
“Heh, kamu ngapain main disini?!?!” tanyanya dengan wajah garang.
Adikku yang sejak tadi ceria, mendadak jadi bisu. Jelas saja, wajah orang itu menunjukkan ketidaksukaan terhadap dirinya. Matanya yang membulat seakan-akan ingin meloncat dari rongga matanya, suaranya yang meninggi dan aksennya yang berkacak pinggang, mungkin membuat orang itu terlihat seperti nenek sihir dimata Dinda.
Lalu orang tua temannya tersebut langsung menyuruh anaknya beserta teman-temannya bermain di dalam rumah kecuali adikku. Adikku yang tidak mengerti apa-apa hanya berdiri mematung diluar.
“Dinda,, cini ayo macuk!” ajak salah satu temannya.
“Iya, Nda kok diluar aja sih.. sini masuk” sahut temannya yang sedikit lebih besar.
“Eehh... udah dia mah nggak usah diajak masuk! Biarin aja main sendiri diluar. Nanti kalo kalian ketularan jadi anak nakal gimana?!?!” sahut orang tua itu dengan sinis.
“Tapi kasian kan Mah kalo Dinda diluar sendirian.” protes anaknya.
“Alah.. udah ntar juga lama-lama bosen sendiri terus pulang.”
Dan tidak lama kemudian karena Dinda masih mematung diluar, orang tua temannya tersebut kembali keluar rumah dan langsung mengusir adikku bahkan dengan perlakuan kasar.
“Huh, dasar anak nakal. Sana pulang!! pergi jauh-jauh dari sini! jangan pernah main lagi sama anak saya!!” ucapnya kasar sambil mencubit lengan dan mendorong bahu adikku tanpa belas kasihan hingga tersungkur.
Setelah itu, ia berbalik dan langsung menutup pintu dengan kasar dan menguncinya rapat-rapat. Karena merasa kecewa, adikku pulang dengan ekspresi yang sangat memilukan. Ia berusaha menahan tangisnya sambil memegangi bahu dan lengannya yang terasa sakit.
Saat sampai dirumah, butir-butir air matanya perlahan-lahan sudah mulai berjatuhan. Aku sangat tidak tahan melihat adikku diperlakukan seperti ini. Ingin rasanya aku melabrak orang yang berani melukai adikku, tapi aku mengurungkan niatku tersebut karena aku lebih mempedulikan keadaan adikku yang sekarang. Aku melihat terdapat  luka lebam di lengannya. Namun ketika aku bertanya mengapa lengannya terdapat luka lebam, tangisnya pun justru langsung pecah. Aku berusaha menghiburnya supaya ia dapat melupakan semua kepedihannya. Dan syukurlah, untungnya adikku termasuk anak yang ceria sehingga mudah terhibur. Namun yang membuat aku sedih, kejadian seperti itu sering sekali terulang.
Ya Allah, apakah kesalahan yang telah diperbuat oleh keluargaku ini? Mengapa semua orang menjadi benci terhadap kami? Ya Allah, berilah kami kemudahan untuk melewati semua ini. Janganlah Kau berikan cobaan yang sekiranya tidak dapat kami lewati. Amiin...
Hingga pada akhirnya aku tahu dalang dibalik semua permasalahan ini. Ya, mereka adalah Kang Ujang dan Teteh Ani. Ternyata mereka yang telah menyebarkan fitnah tentang keluargaku. Mereka tidak suka jika keluargaku membeli rumah milik Ibu Reza karena mereka takut akan diusir dari kontrakan.
Hal yang paling membuat aku kesal adalah Kang Ujang dan Teteh Ani bekerja sama dengan Ibu Laras (selaku Ibu Rt.05, sedangkan aku termasuk warga Rt.04).  Mereka ingin yang membeli rumah milik Ibu Reza adalah Ibu Laras karena dengan demikian, mereka akan tetap tinggal di rumah kontrakan tersebut.
Bagaikan api dalam sekam. Mereka menyimpan dendam yang membara pada keluargaku. Alhasil mereka melaksanakan rencana-rencana busuk. Mulai dari diam-diam menemui Ibu Reza supaya mau membatalkan perjanjian jual-beli, hingga menyebarkan banyak fitnah dan adu domba ke lingkungan sekitar.
Masalah pun mencapai puncak. Sebenarnya aku tahu betul keluargaku terutama Ibuku paling tidak suka dengan yang namanya perkelahian. Namun karena sudah tidak tahan diperlakukan seperti itu, Ibuku melaporkan masalah tersebut kepada Pak Dahlan (Ketua Rt.04).
Saat itu Ibuku menceritakan semua kejadian tersebut dari mulai awal permasalahan sampai munculnya ketegangan yang terjadi saat ini kepada Pak Dahlan. Dan Alhamdulillah, dengan tegasnya Pak Dahlan menyatakan bahwa keluargaku tidaklah bersalah.
Beberapa hari kemudian Pak Dahlan mengundang semua orang yang terlibat dalam permasalahan ini untuk mengadakan perdamaian. Yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu Ibu dan Bapakku, Ibu dan Bapak Reza, Ibu dan Bapak Haji, Kang Ujang dan Teteh Ani, Ibu dan Bapak Laras (selaku Ibu dan Bapak Rt.05) dan beberapa orang tetangga.
Disana Ibuku dan Bapakku lebih banyak diam. Jelas saja, hampir semua yang datang berada di kubu lawan kecuali satu, yaitu Om Wandi (tetangga sebelah kiriku yang berprofesi sebagai TNI-AD) yang sifatnya terkenal tegas dan mau membela keluargaku.
Saat itu tetap terjadi perdebatan yang lumayan sengit, karena pihak lawan tidak mau mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat. Namun atas paksaan dari Pak Dahlan dan Om Wandi, akhirnya mereka mau meminta maaf walaupun terlihat sekali mereka tidak ikhlas melakukan semua itu. Yang terlihat ikhlas meminta maaf hanyalah Bapak Handoko (Ketua Rt.05/suami Ibu Laras) karena sebenarnya ia tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini, dan ia juga meminta maaf atas perbuatan istrinya (Ibu Laras) tersebut.
Akhirnya kini semua orang tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Sikap orang-orang di lingkungan sekitar pun kembali menjadi normal seperti biasanya. Namun walaupun begitu, tetap saja masih ada orang-orang yang pikirannya terpengaruhi. Termasuk kubu lawan.
Nampaknya mereka masih belum bisa terima semua ini walaupun perjanjian jual-beli tetap jatuh ke tangan Ibu Laras. Tapi biarlah.. karena Ibu dan Bapakku sudah memaafkan semua kesalahan mereka dan berusaha melupakan kejadian ini dengan cara pindah rumah. Yeah. Pindah rumah.
Ternyata dari beberapa hari yang lalu, Ibu dan Bapakku sudah mencari-cari rumah kontrakan untuk kepindahan kami. Dan sekarang sudah ditentukan bahwa keluargaku akan pindah rumah ke daerah Swadaya yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sebelumnya. Hanya berbeda Rt. Jika saat ini bertempat di Rt.04, maka esok kami bertempat di Rt.10. Lalu kepindahan kami segera diurus oleh kedua orang tuaku. Dan lusa sudah dipastikan bahwa aku dan keluargaku sudah dapat tinggal di rumah yang baru.
Kemudian sebagai tanda penghormatan, Pak Dahlan dan Om Wandi ikut membantu dan menghantarkan keluargaku saat kepindahan keluargaku ke rumah yang baru.
***
Tidak terasa, sudah hampir 1 bulan aku menempati rumah baru ini. Ternyata suasana disini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rumah yang dulu. Tempatnya yang strategis, tidak terlalu sempit, lingkungannya yang masih rimbun pepohonan sehingga udaranya lebih sejuk dan masyarakatnya yang menerima kedatangan kami dengan baik.
Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberikan jalan yang terbaik bagi kami. Tanpa bantuanMu, kami tidak akan dapat melewati semua cobaan ini. Karena dalam kegelapan pun, Engkau selalu memberikan terangMu, Ya Allah.
Keesokan harinya, karena dirumah sedang tidak ada lauk untuk makan siang, Ibuku berpesan supaya sepulang sekolah nanti aku mampir ke rumah Mbak Nur untuk membeli gado-gado. Lalu siang harinya aku pun menjalankan amanahku untuk membeli gado-gado.
Rumah Mbak Nur (penjual gado-gado langgananku) berada tidak jauh dari rumahku yang dulu. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak ingin kembali lagi ke tempat ini. Namun apa boleh buat, karena ini adalah amanah, maka kupaksakan agar kakiku mau melangkah menuju rumah Mbak Nur.
Ketika sesampainya di rumah Mbak Nur, aku langsung disambutnya dengan hangat. Dan seperti biasa, Mbak Nur memanggilku dengan panggilan Dek Sri.
“Ehh,, Dek Sri..! lama nggak kesini. Abis biasanya kan kalo pagi-pagi kamu sering beli nasi uduk disini, terus siangnya beli gado-gado. Tapi sekarang udah nggak lagi. Sepi banget ditinggal kamu. Mbak jadi kangen deh!” ucap Mbak Nur dengan ekspresi gembira bercampur sedih ketika melihatku datang dan kemudian langsung memelukku.
“Iya. Aku juga kangen kok sama Mbak..” sahutku ikut merasakan sedih.
Ya. Mbak Nur dan keluarganya memang sudah akrab dengan keluargaku. Sudah kuanggap seperti saudara sendiri rasanya. Bahkan saat keluargaku tersandung masalah kemarin, merekalah yang paling mendukung keluargaku. Mereka percaya bahwa keluargaku ini adalah keluarga yang baik-baik.
Untuk melepas kerinduan, aku dan Mbak Nur berbincang tentang banyak hal saat itu. Dan dari sekian banyak perbincangan tersebut, ada satu perbincangan yang paling membuatku tercengang.
“Dek kamu tahu nggak kabar tentang Bapaknya Mas Lilo yang meninggal?” Tanya Mbak Nur.
“Oh iya, udah tahu Mbak. Kan meninggalnya udah lama, dari sebelum aku pindah rumah itu kan?” jawabku sok paham.
“Eits,, bukan Bapaknya Mas Lilo itu yang Mbak maksud. Yang Mbak maksud tuh yang suaminya Ibu Laras itu lho..”
“Hah!! yang suaminya Ibu Laras? Pak Handoko maksudnya? Yang Ketua Rt.05 itu kan??” tanyaku memastikan.
“Nah iya, yang itu maksud Mbak.”
“Ah yang bener aja Mbak. Jangan bercanda deh!”
“Yeh.. Mbak mah nggak bercanda Dek. Beneran kok. Suer deh..”
Deg. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku sangat terkejut saat mendengar pernyataan dari Mbak Nur barusan. Aku berusaha keras mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut Mbak Nur. Apakah mimpi? ah.. tapi tidak mungkin disiang bolong seperti ini aku bermimpi hal seperti itu.
Akhirnya aku meyakini bahwa ini bukanlah mimpi. Ini semua adalah kenyataan. Ya, semua ini pasti benar terjadi. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Lalu karena Mbak Nur dapat membaca keterkejutanku, ia kembali berbicara.
“Kenapa? Kamu kaget ya Dek? Nggak apa-apa kok,, soalnya bukan Dek Sri aja yang kaget. Mbak sama warga disini juga kaget pas denger kabar itu.”
“Emang meninggalnya kapan Mbak?”
“Belum lama kok Dek. Baru aja kemarin. Sekitar dua hari yang lalu.”
“Ehh.. kalo aku boleh tanya, meninggalnya karena apa ya Mbak?? Perasaan dulu sebelum aku pindah, Pak Handoko sehat-sehat aja tuh.” tanyaku penasaran.
“Iya memang, Pak Handoko sehat kok. Buktinya sebelum meninggal masih sempat kerja kayak biasanya. Tapi pas sampai ditempat kerja, katanya sih mendadak kena serangan jantung. Terus langsung deh dibawa ke rumah sakit. Tapi sayangnya, pas masih dalam perjalanan, Pak Handoko sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Maha Kuasa.”
“Hmm,, jadi begitu ya.” tanggapku paham.
Sesaat kami kembali terdiam untuk beberapa waktu. Sunyi kembali merayapi kami. Hanya terdengar suara muntu yang beradu dengan cobek milik Mbak Nur untuk menghaluskan bumbu kacang. Namun tidak lama kemudian, Mbak Nur kembali bersuara sehingga memecah kesunyian.
“Dek kamu tahu nggak, Mbak sekarang lagi dimusuhin sama Ibu-ibu Rt. sini!?”
“Hah, kok dimusuhin Mbak? emang Mbak ada masalah apa??”
“Ya.. Mbak cuman kesel waktu hari pertama Pak Handoko meninggal, ada banyak orang yang menghubungkan penyebab kematian Pak Handoko sama keluarga kamu.”
“Lho, kenapa keluarga saya lagi yang disangkut-sangkutin.”
“Nah itu dia yang buat Mbak kesel. Masa mereka bilang kalo keluarga kamu pake santet supaya bisa buat Pak Handoko meninggal.”
“Astagfirullah. Mbak,, keluarga saya nggak seperti itu! Keluarga saya tuh keluarga yang baik-baik.”
“Iya Mbak tahu. Mbak percaya kok kalo keluarga kamu baik-baik aja.”
“Terus sekarang gimana Mbak?? keluarga saya kan nggak tahu apa-apa. Saya juga baru tahu tadi kan dari Mbak!”
“Udah nggak usah cemas gitu,, kamu tenang aja. Masalah ini udah ditanganin sama Pak Dahlan.”
“Makasih ya Mbak.” ucapku mengingat jasa yang telah diberikan Mbak Nur kepada keluargaku.
“Makasih untuk apa?” tanya Mbak Nur.
“Ya makasih karena Mbak mau percaya sama keluargaku. Bahkan Mbak juga mau ikut berkorban demi ngebela keluargaku.”
“Ahh,, kamu ini Dek! itu sih biasa. Lagian kita kan udah seperti saudara sendiri. Jadi pasti Mbak kenal betul sama keluarga kamu.”
Setelah menyelesaikan perbincangan dengan Mbak Nur. Aku pun langsung berpamitan untuk segera pulang.
“Mbak Nur, aku pamit pulang ya..”
“Ehh,, kok buru-buru sih? Mbak kan masih kangen tahu.”
“Iya sama Mbak, tapi aku harus pulang sekarang, soalnya aku ditungguin di rumah sama Ibu.” ucapku sambil memeluk Mbak Nur.
“Yaudah, kamu hati-hati ya di jalan.”
“Siip Mbak,, oh iya titip salam buat Abah (orang tua Mbak Nur), Om Wandi sama Pak Dahlan ya Mbak..”
“Oh oke tenang, ntar Mbak sampein kok salamnya. Mbak juga titip salam buat keluargamu ya!”
“Siap Mbak... udah ya Mbak, aku pamit.. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam. Sering-sering main kesini yah...!!”
Tanpa berbicara, aku tersenyum sambil mengangkat jempolku ke atas tanda setuju. Dan Mbak Nur juga membalas senyumku itu.
Dan sesampainya dirumah, aku tidak lantas dapat melupakan perbincangan dengan Mbak Nur. Pikiranku tidak dapat berhenti menerawang.
Apakah ini yang namanya pembalasan? Apakah ini yang namanya hukum sebab-akibat? atau apakah ini yang dinamakan hukum karma?? Arg.. aku tidak mengerti atas semua kejadian ini. Jelas saja aku tidak percaya dengan yang namanya hukum karma. Karena setahuku, hukum karma merupakan salah satu pokok kepercayaan masyarakat India yang menganut agama Hindu ataupun Buddha.
Karma memiliki sebab dan memiliki akibat. Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan karma yang buruk akan datang dengan akibat yang buruk pula. Dalam hukum karma diyakini bahwa kejelekan ataupun kebaikan yang didapatkan adalah akibat perbuatan mereka di kehidupan yang lalu (keyakinan reinkarnasi).
Jika aku  mempercayai adanya hukum karma, maka aku akan masuk dalam golongan orang-orang musyrik. Sebab hukum karma tidak ada dalam Islam karena itu jelas berbeda dengan prinsip keimanan yang diajarkan oleh Islam. Dalam Islam kita memiliki keyakinan bahwa Allah Maha Adil dan segala perbuatan kita pasti akan ada balasannya, baik di dunia ataupun di akhirat nanti.
Tidak semua hal yang terjadi pada diri manusia adalah karena kebaikan atau kejahatannya di masa yang lampau. Karena bisa saja kebaikan yang diberikan kepada manusia itu karena memang Allah SWT sedang mencurahkan rahmat-Nya, atau bisa juga permasalahan yang dihadapi manusia adalah suatu cobaan dari-Nya agar manusia tersebut lulus ke tingkatan selanjutnya.
***
Malamnya, aku menceritakan semua perbincanganku dengan Mbak Nur tadi siang kepada kedua orang tuaku. Sama sepertiku tadi, mereka terkejut mendengar cerita dariku. Namun Bapakku bilang, mungkin kejadian tersebut merupakan teguran dari Allah kepada keluarga Pak Handoko yang tentunya dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kita semua. Yap. Pelajaran yang mengingatkan kita akan dunia yang tidak kekal dan abadi.
Ya, tentu saja. Selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian. Aku dapat memetik banyak pelajaran dari kejadian-kejadian ini. Semuanya dapat menjadikanku bertambah dewasa. Menjadi lebih berbakti, lebih peduli, dan tentunya lebih sabar. Aku berjanji pada diriku, tidak akan pernah melupakan semua kejadian ini. Meskipun pahit rasanya, biarkanlah ini menjadi suatu kenangan.
Aku yakin aku dapat melangkah menuju yang terbaik. Yeah. Menuju cerahnya mentari pagi. Jika aku terseok, maka aku akan bangkit meski banyak kemungkinan kutemui jurang yang mengakhiri jalanku. Semua tampak seperti pelangi, selepas derai hujan dan mendung yang berkepanjangan. Terlihat indah dan berwarna-warni.
Dan kini aku bersiap untuk tidur. Bersiap menghadapi takdirNya lagi dan bersiap untuk menyambut datangnya hari esok.

 _Tamat_


Sekian kisah dari saya,
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah yang terkandung dalam cerpen di atas.
Salam hangat sobat Tulics... :D



Disusun oleh :
Nama   :  Diyah Dwi Astuti
Kelas   :  IX - 5
Absen :  13


SMP Negeri 179 Jakarta
Jl. Kalisari Pasar Rebo, Jakarta Timur
Tahun 2013 / 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar