Hai sobat Tulics,, senang rasanya bisa jumpa lagi. Kali ini saya akan membagikan hasil karya cerpen saya. Tujuan utama dibuatnya cerpen ini sih untuk pengambilan nilai bahasa indonesia. Judulnya "Pelangi Sehabis Hujan". Dan cerpen ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi saya lho..!
Hmm,, mungkin cerpen ini masih jauh dari kata sempurna. Jadi kalo nanti sobat Tulics menemukan banyak kekurangan, mohon dimaklumi aja okeh..!?
Selamat membaca..!!
Jangan lupa komentarnya ya..:D
Akan selalu ada pelangi setelah hujan,,
jadi apa yang perlu dikhawatirkan ??
Indikator :
1.
Pembuka : - Keluargaku mengimpikan
memiliki rumah sendiri di Jakarta.
2.
Masalah : - Keluargaku berencana membeli
2 petak rumah milik Ibu Reza.
- Keluargaku membuat perjanjian jual-beli
bersama Ibu Reza.
3. Konflik : - Terjadi pembatalan perjanjian jual-beli
rumah secara sepihak oleh Ibu Reza.
4. Klimaks : - Terdapat segelintir orang yang tidak
menyukai rencana keluargaku untuk membeli rumah milik Ibu Reza.
- Banyak orang sekitar yang terpengaruh,
sehingga seakan-akan menjauhi keluargaku.
- Keluargaku banyak difitnah oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
5. Peredaan : - Pak Dahlan (selaku ketua Rt.04) menyatakan
bahwa keluargaku tidaklah bersalah.
- Diadakan pertemuan untuk melakukan
netralisasi.
- Keluargaku memutuskan untuk pindah rumah.
6. Penutup : - Pak Handoko (selaku ketua Rt.05) mendadak
meninggal karena serangan jantung.
Hampir semua orang setuju dengan
pepatah “rumahku adalah istanaku”.
Termasuk aku sendiri. Yap, menurutku rumah adalah sebuah kata yang dapat
digambarkan sebagai suatu tempat yang nyaman dimana si empunya tinggal.
Bagiku rumah memiliki banyak sekali
fungsi, yaitu selain sebagai pelindung kita dari teriknya sinar matahari,
derasnya hujan dan dinginnya angin malam. Lebih dari itu, fungsi rumah yang
paling penting dan mendasar adalah untuk menciptakan keamanan, kehangatan dan ketenangan
hati bagi yang menempatinya.
Pada dasarnya, rumah adalah tempat
berkumpulnya anggota keluarga untuk saling berbagi kebahagiaan, entah itu rumah
mewah maupun sederhana. Seperti halnya rumahku ini, walaupun masih menyewa dan
terbilang sederhana, rumahku sangatlah nyaman.
Sebetulnya kami sudah memiliki rumah
sendiri, namun tempatnya bukan di Jakarta, melainkan di kampung ibuku yaitu di
Purworejo (Jawa Tengah). Dan karena kami tinggal di Jakarta, maka rumah
tersebut disewakan kepada sebuah koperasi simpan-pinjam.
***
Pada suatu hari saat aku sedang
enak-enakan nonton tv, Ibuku yang sejak tadi di dapur datang menghampiriku
untuk ikut bersantai. Lalu seperti biasa, karena kami sesama wanita dan aku
adalah anak perempuan tertua di keluarga ini, maka aku dijadikan sebagai teman
curhat oleh ibuku sendiri. Kami berdua membicarakan banyak hal. Mulai dari
membicarakan hal-hal kecil sampai besar dan yang sifatnya pribadi hingga umum.
Dan pembicaraan kali ini dimulai dari mengomentari isi berita yang baru saja tanyang
di tv.
“Begitu
tuh, pola pikir orang Indonesia masih pendek. Belum bisa berpikir kritis. Lha
wong salah kok dibela?! Mau jadi apa Negara ini??” komentar ibuku saat menyimak
berita di tv tentang maraknya para mahasiswa berdemo menuntut pemerintah supaya
tidak menggusur bangunan yang berada di bantaran kali.
“Lho Bu,
bukannya itu bagian dari sikap kritis? Mereka berdemo kan untuk mengkritik
sistem kerja pemerintah yang suka sewenang-wenang sama rakyat kecil.” sahutku
menanggapi komentar Ibu.
“Ahh kamu ini!
nggak bisa bedain mana orang yang kritis dengan mana orang yang ngeyel.”
“Emang apa
bedanya Bu? bukannya orang ngeyel berawalnya dari orang kritis?” tanyaku
bingung.
“Beda
dong,, kalo orang kritis itu bisa
melihat sesuatu dari berbagai macam sudut pandang atau memberikan sudut pandang
yang baru supaya bisa dijadikan sebuah pertimbangan. Dan harus diingat! orang
kritis sifatnya nggak memaksakan, tapi
memberikan pandangan baru tentang cara pandang yang lain. Sedangkan orang
ngeyel itu biasanya memaksakan keinginan pribadinya, atau memaksakan cara
pandangnya pribadi. Orang ngeyel bisa aja berlagak sok akademis, sok tahu
peraturan, padahal apa yang disampaikan cuman hal-hal yang mendukung keinginan
pribadinya.”
“Oh gitu
ya. Hmm.. berarti maksud Ibu mereka ini termasuk orang-orang yang ngeyel?”
“Ya iya
dong, mereka kan cuman mentingin diri mereka masing-masing. Cuma mengatas
namakan rakyat kecil terus bisa bebas ngelanggar hukum gitu? Salah sendiri.
Emang siapa suruh bangun rumah di pinggir kali coba? Semuanya kan udah ada
peraturannya, termasuk membangun rumah di pinggiran kali.” jelas Ibu.
“Kalo
dipikir-pikir emang mereka duluan yang salah, tapi cara pemerintah menggusur
juga kayaknya nggak manusiawi.”
“Itu sih
bukan sistemnya yang salah, cuman caranya aja kok kurang tepat. Ya mungkin
karena aparaturnya udah geregetan ngadepin orang-orang ngeyel. Udah dikasih
waktu buat beres-beres barang terus cari rumah atau rusun baru, eeh.. malah
keterusan tetep tinggal. Yaudah, diambrukin aja deh semua bangunannya.”
“Ohh...jadi
begitu.” sahutku paham.
“Iya. Dan
kamu juga harus tahu ya kalo nggak semua mahasiswa itu berdemo karena murni
atas aspirasinya sendiri, jaman sekarang udah banyak juga mahasiswa yang
dibayar untuk berdemo.”
“Iya, kalo
itu sih aku udah tahu.”
“Nah udah
tahu kan sekarang? makanya kamu sekolah yang bener, supaya dapat ilmu yang
banyak dan jadilah orang yang kritis, bukan orang yang ngeyel.” saran Ibuku.
“Iya Bu.”
Aku terdiam sambil berusaha mencerna
satu per satu kata dari semua kalimat yang telah dituturkan Ibuku. Yeah. Dan
sekarang aku mengerti. Aku paham benar dengan semua yang baru saja dibicarakan.
Dan tentu saja aku dapat mengambil banyak pelajaran dari perdebatan singkat
yang baru saja terjadi. Terimakasih Ibu. Walaupun terkadang kelewat bawel, engkau
selalu memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam hidupku sehingga dapat
membawaku menjadi orang yang dewasa nantinya. Namun tidak lama kemudian Ibuku
kembali berbicara.
“Nduk,
kamu doa’in rencana Ibu supaya sukses ya.”
“Hah,
rencana? rencana apa Bu??”
“Iya, Ibu
udah berencana ngebeli rumah ini dari Ibu Reza. Supaya tenang tinggal di
Jakarta punya rumah sendiri.”
“Lho,
bukannya kata Ibu rumah ini terlalu kecil?”
“Niat Ibu
tuh beli 2 petak. Rumah yang kita tempatin ini sama yang rumah yang sebelah
kanan kita ini. Niatnya sih kalo udah kebeli nanti, mau direnovasi jadi satu,
supaya jadi lebih besar.”
“Kan rumah
sebelah udah ditempatin Kang Ujang sama Teteh Ani.”
“Iya Ibu
tahu kok. Cuman kan Ibu baru mau ngebeli rumahnya. Untuk renovasinya sih
belakangan. Jadi misalnya rumah ini udah kebeli, bukan berarti kita langsung
usir Kang Ujang. Kalo Kang Ujang mau, biar dia tetep ngontrak disini tapi
bayarnya sama kita. Lagian kan Ibu butuh waktu lagi untuk ngumpulin uang buat
renovasinya.”
“Hmm, gitu
ya. Tapi emang Ibu udah siap uang untuk beli rumahnya?”
“Insyaallah
udah Ibu siapin uangnya. Dan lusa Ibu udah buat janji ketemuan sama Ibu Reza di
rumah Bu Haji untuk persetujuan dan penentuan harga. Kamu tinggal doa’in aja
supaya semuanya berjalan lancar.” jelas Ibu.
“Oke. Ibu
tenang aja, kalo begitu sih pasti aku doa’in” jawabku semangat sambil
tersenyum.
Kemudian tidak terasa waktu cepat
berlalu. Hari ini kami mengakhiri obrolan dengan rasa gembira. Terutama tentang
niat Ibu untuk membeli rumah. Aku senang sekali rasanya. Sudah tidak
terbayangkan dalam benakku jika nantinya keluargaku memiliki rumah sendiri di
Jakarta.
***
Beberapa hari kemudian setelah
terjadinya pertemuan tersebut, Ibu menceritakan perkembangan yang terjadi.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh 6 orang, yaitu Ibu dan Bapak Reza sebagai
penjual, Ibu dan Bapakku sebagai pembeli, serta Ibu dan Bapak Haji sebagai
saksi atau penengah.
Ternyata Ibu dan Bapak Reza sudah
menyetujui dan menandatangani surat perjanjian diatas Al-Quran bahwa rumahnya
yang 2 petak ini dijual kepada Keluargaku. Dan untuk masalah harga juga sudah
disepakati oleh kedua belah pihak. Ibuku juga sudah memberikan uang DP-nya
yaitu setengah dari harga keseluruhan dan sisanya dibayarkan secara mencicil
atas permintaan Ibu Reza sendiri dengan alasan supaya uangnya tidak cepat
habis.
Aku senang mendengar perkembangan
tersebut. Tetapi dibalik itu semua, tiba-tiba aku merasakan ada sedikit
keraguan yang merasuk ke dalam pikiranku. Ya Allah, apakah semua ini akan
berhasil?? Apakah semua ini akan berjalan lancar?? dan sebagainya. Semua
pikiran itu tentu saja mengganggu perasaanku.
Aku tahu betul rumah ini adalah
salah satu dari sekian banyak warisan yang didapatkan oleh Bapak Reza dari
orang tuanya selaku tokoh masyarakat Betawi.
Namun masalah jual-beli tanah biasanya diambil alih oleh Ibu Reza. Dan
aku juga tahu persis bagaimana sifat buruk yang dimiliki oleh Ibu Reza.
Ya. Walaupun Ibu Reza dan Ibuku
sama-sama dari Purworejo dan hanya berbeda kampung halaman, sifat Ibu Reza jauh
berbeda dengan sifat Ibuku. Mungkin saja karena pengaruh lingkungan. Ibu Reza
bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga sehingga banyak waktu luang yang dapat ia
pergunakan untuk ngerumpi sana-sini dan mengikuti kegiatan arisan juga
pengajian yang ujung-ujungnya selalu membicarakan orang lain. Sedangkan Ibuku
selain menjadi Ibu Rumah Tangga, ia juga bekerja sebagai wanita karir sehingga
Ibuku hanya fokus mengurus keluarga dan pekerjaan.
Tapi aku membuang jauh semua
pikiran-pikiran aneh tersebut. Aku hanya dapat berdoa dan pasrah kepada Sang
Maha Pencipta, karena hanya kepadaNyalah aku berharap. Dan aku tahu bahwa
manusia hanya dapat berencana, sedangkan yang memutuskan semua perkara di dunia
tetaplah Allah SWT.
***
Beberapa minggu dapat kulalui
seperti biasa. Namun belum 2 bulan, tiba-tiba muncul permasalahan sedikit demi
sedikit. Ya, sikap Ibu dan Bapakku berubah menjadi tidak seperti biasanya.
Seperti ada hal-hal yang mereka tutupi dari aku, kakakku dan adik-adikku.
Dan benar saja. Persis seperti
dugaanku sebelumnya. Ibu dan Bapak sedang menanggung masalah besar. Ternyata
masalah itu berasal dari perjanjian jual-beli rumah yang tiba-tiba dibatalkan
secara sepihak oleh si penjual (Ibu Reza).
Bagaikan tersambar petir. Setelah
mendengar kabar buruk tersebut, ingin sekali rasanya aku menangis. Aku terdiam
seribu bahasa. Hatiku hancur. Apalagi melihat kedua orang tuaku yang
seakan-akan tidak dapat menerima kenyataan ini.
Apa yang telah mereka lakukan
terhadap keluargaku? Apa maksud mereka membatalkan semua ini? Bukankah semuanya
sudah terikat dengan perjanjian? Lantas apa tujuan mereka sebenarnya?
Pikiranku sangat tidak tenang. Aku
tidak terima dengan semua ini. Mereka telah membohongi dan menyakiti
keluargaku. Bahkan mereka juga melanggar perjanjian yang telah dibuat di atas
Al-Quran. Namun aku menutupi rasa sakit hatiku dengan tidak memperlihatkan
ekspresi marahku. Aku takut jika nantinya orang tuaku melihatku kecewa, justru
akan menambah beban berat yang telah ditanggung kedua orang tuaku. Bahkan demi
menghibur kedua orang tuaku, aku yang dari tadi terdiam berusaha mengomentari
permasalahan tersebut dengan santai.
“Oh yaudah
nggak apa-apa kok Pak,Bu. Kalo gitu jadinya mending cari rumah baru yang
lainnya aja.”
“Iya Nduk,
tapi Bapak sama Ibu masih pikir-pikir dulu. Kalo tinggal di sini kan strategis
dan harganya masih bisa dijangkau, sedangkan di tempat lainnya belum tentu
kayak gini.” jawab Ibu.
“Hmm..
yaudah terserah Ibu sama Bapak deh. Mau beli rumah dimana aja aku sih terima.”
jawabku sambil tersenyum, berharap supaya orang tuaku sedikit terhibur.
“ Iya
Nduk. Udah, pokoknya nggak usah kamu pikirin. Ini urusan Ibu sama Bapak.”
kembali Ibuku menjawab, dan kali ini sambil tersenyum.
***
Beberapa hari pun berlalu. Aku
berharap supaya masalah yang mengganggu keluargaku segera lenyap. Namun nyatanya
justru bertambah berat. Ya. Bagaimana tidak tambah berat masalahnya kalau
ternyata banyak pihak yang tidak terlibat tiba-tiba ikut campur dalam masalah
ini. Huh dasar! tahu apa mereka tentang masalah ini? Kalaupun mereka tahu yang
sebenarnya, jelas mereka tidak berhak untuk ikut campur.
Keluargaku menjadi bahan
perbincangan disana-sini. Dari mulai hal-hal kecil sampai hal-hal besar yang
sifatnya buruk dan bahkan tidak benar alias tidak sesuai dengan kenyataannya
yang terjadi. Dalam pepatah dapat diibaratkan seperti “Bau busuk tiada berbangkai”, yang artinya dituduh melakukan
kesalahan namun tidak ada bukti kuat yang mendukungnya. Dan jelas saja semua
hal tersebut telah mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup keluargaku.
Semua masalah berkembang menjadi
semakin besar dan rumit. Masalah tersebut kini telah mempengaruhi banyak bidang
dalam kehidupan keluargaku, terutama dalam bidang sosial. Sikap dan perilaku
orang-orang lingkungan sekitar berubah drastis. Mereka semua seakan-akan
menganggap keluargaku sebagai wabah penyakit yang harus dijauhi.
Dan kasihannya, yang paling terlihat
tertekan adalah adik-adikku. Saat mereka ingin bermain dengan teman-teman
sebayanya, mereka justru menjadi bahan ejekkan.
Pernah suatu hari diam-diam aku
memperhatikan adikku yang paling kecil (Dinda namanya) dan baru berumur 3 tahun
dari balik jendela rybeen. Ia sedang bermain di rumah temannya bersama dengan
teman-teman yang lainnya. Dari jauh, Dindalah yang paling terlihat aktif dan
ceria. Dan sepertinya saat itu ia sedang bercerita kepada teman-temannya.
Semuanya terlihat dari wajahnya yang penuh dengan ekspresi saat bercerita.
Dengan suara khasnya yang cempreng
dan lidahnya yang masih kaku sehingga belum bisa mengucapkan huruf “R” dengan jelas alias cadel, Dinda bercerita
dengan penuh semangat. Dan terlihat sekali disana teman-teman Dinda sangat
terhibur atas cerita yang baru saja disampaikan Dinda.
Dengan ringannya, seakan-akan tanpa
beban mereka tertawa bersama-sama. Aku yang sejak tadi memperhatikan, hanya
bisa senyum-senyum sendiri mendengar tawa mereka yang renyah dan membahana
hingga terdengar sampai sini. Samar-samar aku masih dapat mendengar banyak
sekali komentar dari teman-temannya atas cerita Dinda barusan.
“A..haha, Dinda lucu deh!!!”
komentar temannya yang bernama Ado.
“Hahah.. iya yah! Jangan-jangan
Dinda temennya Sule.” lanjut Dika.
Masih banyak komentar lainnya yang
menunjukkan ketertarikan atas cerita Dinda. Semua komentar-komentar tersebut
justru membuat Dinda semakin semangat untuk bercerita. Beragam topik telah
dibahas. Dari mulai film, mainan, hingga kejadian-kejadian yang berkesan,
semuanya tidak luput dari perbincangan mereka.
Dan aku yakin sekali, topik yang
sedang diceritakan Dinda kali ini adalah topik yang paling lucu. Ya, Dinda
pasti sedang menceritakan pengalaman pertamanya saat bertemu dengan seorang
“banci kaleng” yang tadi pagi sudah terlebih dahulu diceritakan kepadaku.
Awalnya Dinda mengatakan bahwa ia melihat seorang pria yang dapat berubah wujud
menjadi seorang wanita dalam sekejap. Ia mengira bahwa orang itu adalah
pesulap. Hahaha, aku tertawa mendengarnya. Namun kemudian aku memberikan
penjelasan kepadanya bahwa seorang pria yang dapat berubah menjadi wanita
disebut banci kaleng, bukanlah pesulap. Heheh,, ada-ada saja adikku yang satu itu.
Dari sini, masih terdengar suara
canda tawa mereka. Namun tidak lama kemudian, tawa mereka mendadak berhenti.
Ada suara dari dalam rumah yang meneriaki mereka.
“Heh!!
jangan berisik kalo main disini!” teriak suara dari dalam.
Ternyata yang meneriaki mereka
adalah orang tua dari salah seorang temannya. Seketika itu ia langsung keluar
rumah. Kemudian tidak diduga-duga, adikku langsung dimaki-maki tanpa sebab
olehnya.
“Heh, kamu
ngapain main disini?!?!” tanyanya dengan wajah garang.
Adikku yang sejak tadi ceria,
mendadak jadi bisu. Jelas saja, wajah orang itu menunjukkan ketidaksukaan
terhadap dirinya. Matanya yang membulat seakan-akan ingin meloncat dari rongga
matanya, suaranya yang meninggi dan aksennya yang berkacak pinggang, mungkin
membuat orang itu terlihat seperti nenek sihir dimata Dinda.
Lalu orang tua temannya tersebut
langsung menyuruh anaknya beserta teman-temannya bermain di dalam rumah kecuali
adikku. Adikku yang tidak mengerti apa-apa hanya berdiri mematung diluar.
“Dinda,,
cini ayo macuk!” ajak salah satu temannya.
“Iya, Nda
kok diluar aja sih.. sini masuk” sahut temannya yang sedikit lebih besar.
“Eehh...
udah dia mah nggak usah diajak masuk! Biarin aja main sendiri diluar. Nanti
kalo kalian ketularan jadi anak nakal gimana?!?!” sahut orang tua itu dengan
sinis.
“Tapi
kasian kan Mah kalo Dinda diluar sendirian.” protes anaknya.
“Alah..
udah ntar juga lama-lama bosen sendiri terus pulang.”
Dan tidak lama kemudian karena Dinda
masih mematung diluar, orang tua temannya tersebut kembali keluar rumah dan
langsung mengusir adikku bahkan dengan perlakuan kasar.
“Huh,
dasar anak nakal. Sana pulang!! pergi jauh-jauh dari sini! jangan pernah main
lagi sama anak saya!!” ucapnya kasar sambil mencubit lengan dan mendorong bahu
adikku tanpa belas kasihan hingga tersungkur.
Setelah itu, ia berbalik dan
langsung menutup pintu dengan kasar dan menguncinya rapat-rapat. Karena merasa
kecewa, adikku pulang dengan ekspresi yang sangat memilukan. Ia berusaha
menahan tangisnya sambil memegangi bahu dan lengannya yang terasa sakit.
Saat sampai dirumah, butir-butir air
matanya perlahan-lahan sudah mulai berjatuhan. Aku sangat tidak tahan melihat
adikku diperlakukan seperti ini. Ingin rasanya aku melabrak orang yang berani
melukai adikku, tapi aku mengurungkan niatku tersebut karena aku lebih
mempedulikan keadaan adikku yang sekarang. Aku melihat terdapat luka lebam di lengannya. Namun ketika aku
bertanya mengapa lengannya terdapat luka lebam, tangisnya pun justru langsung
pecah. Aku berusaha menghiburnya supaya ia dapat melupakan semua kepedihannya.
Dan syukurlah, untungnya adikku termasuk anak yang ceria sehingga mudah
terhibur. Namun yang membuat aku sedih, kejadian seperti itu sering sekali
terulang.
Ya Allah, apakah kesalahan yang
telah diperbuat oleh keluargaku ini? Mengapa semua orang menjadi benci terhadap
kami? Ya Allah, berilah kami kemudahan untuk melewati semua ini. Janganlah Kau
berikan cobaan yang sekiranya tidak dapat kami lewati. Amiin...
Hingga pada akhirnya aku tahu dalang
dibalik semua permasalahan ini. Ya, mereka adalah Kang Ujang dan Teteh Ani.
Ternyata mereka yang telah menyebarkan fitnah tentang keluargaku. Mereka tidak
suka jika keluargaku membeli rumah milik Ibu Reza karena mereka takut akan
diusir dari kontrakan.
Hal yang paling membuat aku kesal
adalah Kang Ujang dan Teteh Ani bekerja sama dengan Ibu Laras (selaku Ibu
Rt.05, sedangkan aku termasuk warga Rt.04).
Mereka ingin yang membeli rumah milik Ibu Reza adalah Ibu Laras karena
dengan demikian, mereka akan tetap tinggal di rumah kontrakan tersebut.
Bagaikan api dalam sekam. Mereka
menyimpan dendam yang membara pada keluargaku. Alhasil mereka melaksanakan
rencana-rencana busuk. Mulai dari diam-diam menemui Ibu Reza supaya mau
membatalkan perjanjian jual-beli, hingga menyebarkan banyak fitnah dan adu
domba ke lingkungan sekitar.
Masalah pun mencapai puncak.
Sebenarnya aku tahu betul keluargaku terutama Ibuku paling tidak suka dengan
yang namanya perkelahian. Namun karena sudah tidak tahan diperlakukan seperti
itu, Ibuku melaporkan masalah tersebut kepada Pak Dahlan (Ketua Rt.04).
Saat itu Ibuku menceritakan semua
kejadian tersebut dari mulai awal permasalahan sampai munculnya ketegangan yang
terjadi saat ini kepada Pak Dahlan. Dan Alhamdulillah, dengan tegasnya Pak
Dahlan menyatakan bahwa keluargaku tidaklah bersalah.
Beberapa hari kemudian Pak Dahlan
mengundang semua orang yang terlibat dalam permasalahan ini untuk mengadakan
perdamaian. Yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu Ibu dan Bapakku, Ibu dan
Bapak Reza, Ibu dan Bapak Haji, Kang Ujang dan Teteh Ani, Ibu dan Bapak Laras
(selaku Ibu dan Bapak Rt.05) dan beberapa orang tetangga.
Disana Ibuku dan Bapakku lebih
banyak diam. Jelas saja, hampir semua yang datang berada di kubu lawan kecuali
satu, yaitu Om Wandi (tetangga sebelah kiriku yang berprofesi sebagai TNI-AD)
yang sifatnya terkenal tegas dan mau membela keluargaku.
Saat itu tetap terjadi perdebatan
yang lumayan sengit, karena pihak lawan tidak mau mengakui kesalahan yang telah
mereka perbuat. Namun atas paksaan dari Pak Dahlan dan Om Wandi, akhirnya
mereka mau meminta maaf walaupun terlihat sekali mereka tidak ikhlas melakukan
semua itu. Yang terlihat ikhlas meminta maaf hanyalah Bapak Handoko (Ketua
Rt.05/suami Ibu Laras) karena sebenarnya ia tidak tahu apa-apa mengenai masalah
ini, dan ia juga meminta maaf atas perbuatan istrinya (Ibu Laras) tersebut.
Akhirnya kini semua orang tahu siapa
yang salah dan siapa yang benar. Sikap orang-orang di lingkungan sekitar pun
kembali menjadi normal seperti biasanya. Namun walaupun begitu, tetap saja
masih ada orang-orang yang pikirannya terpengaruhi. Termasuk kubu lawan.
Nampaknya mereka masih belum bisa
terima semua ini walaupun perjanjian jual-beli tetap jatuh ke tangan Ibu Laras.
Tapi biarlah.. karena Ibu dan Bapakku sudah memaafkan semua kesalahan mereka
dan berusaha melupakan kejadian ini dengan cara pindah rumah. Yeah. Pindah
rumah.
Ternyata dari beberapa hari yang
lalu, Ibu dan Bapakku sudah mencari-cari rumah kontrakan untuk kepindahan kami.
Dan sekarang sudah ditentukan bahwa keluargaku akan pindah rumah ke daerah
Swadaya yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sebelumnya. Hanya berbeda
Rt. Jika saat ini bertempat di Rt.04, maka esok kami bertempat di Rt.10. Lalu
kepindahan kami segera diurus oleh kedua orang tuaku. Dan lusa sudah dipastikan
bahwa aku dan keluargaku sudah dapat tinggal di rumah yang baru.
Kemudian sebagai tanda penghormatan,
Pak Dahlan dan Om Wandi ikut membantu dan menghantarkan keluargaku saat
kepindahan keluargaku ke rumah yang baru.
***
Tidak terasa, sudah hampir 1 bulan
aku menempati rumah baru ini. Ternyata suasana disini jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan rumah yang dulu. Tempatnya yang strategis, tidak terlalu
sempit, lingkungannya yang masih rimbun pepohonan sehingga udaranya lebih sejuk
dan masyarakatnya yang menerima kedatangan kami dengan baik.
Terimakasih ya Allah, Engkau telah
memberikan jalan yang terbaik bagi kami. Tanpa bantuanMu, kami tidak akan dapat
melewati semua cobaan ini. Karena dalam kegelapan pun, Engkau selalu memberikan
terangMu, Ya Allah.
Keesokan harinya, karena dirumah
sedang tidak ada lauk untuk makan siang, Ibuku berpesan supaya sepulang sekolah
nanti aku mampir ke rumah Mbak Nur untuk membeli gado-gado. Lalu siang harinya
aku pun menjalankan amanahku untuk membeli gado-gado.
Rumah Mbak Nur (penjual gado-gado
langgananku) berada tidak jauh dari rumahku yang dulu. Dan kalau boleh jujur,
sebenarnya aku tidak ingin kembali lagi ke tempat ini. Namun apa boleh buat,
karena ini adalah amanah, maka kupaksakan agar kakiku mau melangkah menuju rumah
Mbak Nur.
Ketika sesampainya di rumah Mbak
Nur, aku langsung disambutnya dengan hangat. Dan seperti biasa, Mbak Nur
memanggilku dengan panggilan Dek Sri.
“Ehh,, Dek
Sri..! lama nggak kesini. Abis biasanya kan kalo pagi-pagi kamu sering beli
nasi uduk disini, terus siangnya beli gado-gado. Tapi sekarang udah nggak lagi.
Sepi banget ditinggal kamu. Mbak jadi kangen deh!” ucap Mbak Nur dengan
ekspresi gembira bercampur sedih ketika melihatku datang dan kemudian langsung
memelukku.
“Iya. Aku
juga kangen kok sama Mbak..” sahutku ikut merasakan sedih.
Ya. Mbak Nur dan keluarganya memang
sudah akrab dengan keluargaku. Sudah kuanggap seperti saudara sendiri rasanya.
Bahkan saat keluargaku tersandung masalah kemarin, merekalah yang paling
mendukung keluargaku. Mereka percaya bahwa keluargaku ini adalah keluarga yang
baik-baik.
Untuk melepas kerinduan, aku dan
Mbak Nur berbincang tentang banyak hal saat itu. Dan dari sekian banyak
perbincangan tersebut, ada satu perbincangan yang paling membuatku tercengang.
“Dek kamu
tahu nggak kabar tentang Bapaknya Mas Lilo yang meninggal?” Tanya Mbak Nur.
“Oh iya,
udah tahu Mbak. Kan meninggalnya udah lama, dari sebelum aku pindah rumah itu
kan?” jawabku sok paham.
“Eits,,
bukan Bapaknya Mas Lilo itu yang Mbak maksud. Yang Mbak maksud tuh yang
suaminya Ibu Laras itu lho..”
“Hah!!
yang suaminya Ibu Laras? Pak Handoko maksudnya? Yang Ketua Rt.05 itu kan??”
tanyaku memastikan.
“Nah iya,
yang itu maksud Mbak.”
“Ah yang
bener aja Mbak. Jangan bercanda deh!”
“Yeh..
Mbak mah nggak bercanda Dek. Beneran kok. Suer deh..”
Deg. Jantungku serasa berhenti
berdetak. Aku sangat terkejut saat mendengar pernyataan dari Mbak Nur barusan.
Aku berusaha keras mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut Mbak Nur.
Apakah mimpi? ah.. tapi tidak mungkin disiang bolong seperti ini aku bermimpi
hal seperti itu.
Akhirnya aku meyakini bahwa ini
bukanlah mimpi. Ini semua adalah kenyataan. Ya, semua ini pasti benar terjadi. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Lalu
karena Mbak Nur dapat membaca keterkejutanku, ia kembali berbicara.
“Kenapa?
Kamu kaget ya Dek? Nggak apa-apa kok,, soalnya bukan Dek Sri aja yang kaget.
Mbak sama warga disini juga kaget pas denger kabar itu.”
“Emang
meninggalnya kapan Mbak?”
“Belum
lama kok Dek. Baru aja kemarin. Sekitar dua hari yang lalu.”
“Ehh..
kalo aku boleh tanya, meninggalnya karena apa ya Mbak?? Perasaan dulu sebelum
aku pindah, Pak Handoko sehat-sehat aja tuh.” tanyaku penasaran.
“Iya
memang, Pak Handoko sehat kok. Buktinya sebelum meninggal masih sempat kerja
kayak biasanya. Tapi pas sampai ditempat kerja, katanya sih mendadak kena
serangan jantung. Terus langsung deh dibawa ke rumah sakit. Tapi sayangnya, pas
masih dalam perjalanan, Pak Handoko sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Sang
Maha Kuasa.”
“Hmm,,
jadi begitu ya.” tanggapku paham.
Sesaat kami kembali terdiam untuk
beberapa waktu. Sunyi kembali merayapi kami. Hanya terdengar suara muntu yang
beradu dengan cobek milik Mbak Nur untuk menghaluskan bumbu kacang. Namun tidak
lama kemudian, Mbak Nur kembali bersuara sehingga memecah kesunyian.
“Dek kamu
tahu nggak, Mbak sekarang lagi dimusuhin sama Ibu-ibu Rt. sini!?”
“Hah, kok
dimusuhin Mbak? emang Mbak ada masalah apa??”
“Ya.. Mbak
cuman kesel waktu hari pertama Pak Handoko meninggal, ada banyak orang yang
menghubungkan penyebab kematian Pak Handoko sama keluarga kamu.”
“Lho,
kenapa keluarga saya lagi yang disangkut-sangkutin.”
“Nah itu
dia yang buat Mbak kesel. Masa mereka bilang kalo keluarga kamu pake santet
supaya bisa buat Pak Handoko meninggal.”
“Astagfirullah.
Mbak,, keluarga saya nggak seperti itu! Keluarga saya tuh keluarga yang
baik-baik.”
“Iya Mbak
tahu. Mbak percaya kok kalo keluarga kamu baik-baik aja.”
“Terus
sekarang gimana Mbak?? keluarga saya kan nggak tahu apa-apa. Saya juga baru
tahu tadi kan dari Mbak!”
“Udah
nggak usah cemas gitu,, kamu tenang aja. Masalah ini udah ditanganin sama Pak
Dahlan.”
“Makasih
ya Mbak.” ucapku mengingat jasa yang telah diberikan Mbak Nur kepada
keluargaku.
“Makasih
untuk apa?” tanya Mbak Nur.
“Ya
makasih karena Mbak mau percaya sama keluargaku. Bahkan Mbak juga mau ikut
berkorban demi ngebela keluargaku.”
“Ahh,,
kamu ini Dek! itu sih biasa. Lagian kita kan udah seperti saudara sendiri. Jadi
pasti Mbak kenal betul sama keluarga kamu.”
Setelah menyelesaikan perbincangan
dengan Mbak Nur. Aku pun langsung berpamitan untuk segera pulang.
“Mbak Nur,
aku pamit pulang ya..”
“Ehh,, kok
buru-buru sih? Mbak kan masih kangen tahu.”
“Iya sama
Mbak, tapi aku harus pulang sekarang, soalnya aku ditungguin di rumah sama
Ibu.” ucapku sambil memeluk Mbak Nur.
“Yaudah,
kamu hati-hati ya di jalan.”
“Siip
Mbak,, oh iya titip salam buat Abah (orang tua Mbak Nur), Om Wandi sama Pak
Dahlan ya Mbak..”
“Oh oke
tenang, ntar Mbak sampein kok salamnya. Mbak juga titip salam buat keluargamu
ya!”
“Siap
Mbak... udah ya Mbak, aku pamit.. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam.
Sering-sering main kesini yah...!!”
Tanpa berbicara, aku tersenyum
sambil mengangkat jempolku ke atas tanda setuju. Dan Mbak Nur juga membalas
senyumku itu.
Dan sesampainya dirumah, aku tidak
lantas dapat melupakan perbincangan dengan Mbak Nur. Pikiranku tidak dapat
berhenti menerawang.
Apakah ini yang namanya pembalasan?
Apakah ini yang namanya hukum sebab-akibat? atau apakah ini yang dinamakan
hukum karma?? Arg.. aku tidak mengerti atas semua kejadian ini. Jelas saja aku
tidak percaya dengan yang namanya hukum karma. Karena setahuku, hukum karma
merupakan salah satu pokok kepercayaan masyarakat India yang menganut agama
Hindu ataupun Buddha.
Karma memiliki sebab dan memiliki akibat. Karma yang baik
akan datang dengan akibat yang baik dan karma yang buruk akan datang dengan
akibat yang buruk pula. Dalam hukum karma diyakini bahwa kejelekan ataupun kebaikan
yang didapatkan adalah akibat perbuatan mereka di kehidupan yang lalu
(keyakinan reinkarnasi).
Jika aku mempercayai adanya hukum karma, maka aku akan
masuk dalam golongan orang-orang musyrik. Sebab hukum karma tidak ada dalam Islam karena itu jelas berbeda
dengan prinsip keimanan yang diajarkan oleh Islam. Dalam Islam kita memiliki
keyakinan bahwa Allah Maha Adil dan segala perbuatan kita pasti akan ada
balasannya, baik di dunia ataupun di akhirat nanti.
Tidak semua hal yang terjadi pada diri manusia adalah karena
kebaikan atau kejahatannya di masa yang lampau. Karena bisa saja kebaikan yang
diberikan kepada manusia itu karena memang Allah SWT sedang mencurahkan
rahmat-Nya, atau bisa juga permasalahan yang dihadapi manusia adalah suatu
cobaan dari-Nya agar manusia tersebut lulus ke tingkatan selanjutnya.
***
Malamnya, aku menceritakan semua perbincanganku dengan Mbak
Nur tadi siang kepada kedua orang tuaku. Sama sepertiku tadi, mereka terkejut
mendengar cerita dariku. Namun Bapakku bilang, mungkin kejadian tersebut
merupakan teguran dari Allah kepada keluarga Pak Handoko yang tentunya dapat
dijadikan sebagai pelajaran bagi kita semua. Yap. Pelajaran yang mengingatkan
kita akan dunia yang tidak kekal dan abadi.
Ya, tentu saja. Selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian.
Aku dapat memetik banyak pelajaran dari kejadian-kejadian ini. Semuanya dapat
menjadikanku bertambah dewasa. Menjadi lebih berbakti, lebih peduli, dan
tentunya lebih sabar. Aku berjanji pada diriku, tidak akan pernah melupakan
semua kejadian ini. Meskipun pahit rasanya, biarkanlah ini menjadi suatu
kenangan.
Aku yakin aku dapat melangkah menuju yang terbaik. Yeah.
Menuju cerahnya mentari pagi. Jika aku terseok, maka aku akan bangkit meski
banyak kemungkinan kutemui jurang yang mengakhiri jalanku. Semua tampak seperti
pelangi, selepas derai hujan dan mendung yang berkepanjangan. Terlihat indah
dan berwarna-warni.
Dan kini aku bersiap untuk tidur. Bersiap menghadapi
takdirNya lagi dan bersiap untuk menyambut datangnya hari esok.
_Tamat_
Sekian
kisah dari saya,
Semoga
kita semua dapat mengambil hikmah yang terkandung dalam cerpen di atas.
Salam
hangat sobat Tulics... :D
Disusun oleh :
Nama : Diyah Dwi Astuti
Kelas : IX - 5
Absen : 13
SMP
Negeri 179 Jakarta
Jl.
Kalisari Pasar Rebo, Jakarta Timur
Tahun
2013 / 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar